Opini  

Melabeli Wartawan “Provokator”: Sebuah Lonceng Kematian bagi Nalar Kritis di Ruang Publik

Iyud Dwi Mursito

Oleh: Iyud Dwi Mursito

​MUNGKIN ada sebagian pihak yang bertanya: “Kenapa sih masalah dikeluarkan (kick) dari grup WhatsApp saja dibesar-besarkan? Bukankah itu hal sepele?”
​Jawabannya tegas: Tidak. Ini bukan masalah sepele.
​Insiden pengusiran wartawan dari grup media OJK Bengkulu yang disertai pelabelan “provokator” adalah masalah serius yang menyentuh fundamental demokrasi dan kebebasan pers. Membiarkan peristiwa ini berlalu tanpa koreksi sama saja dengan memormalisasi pembungkaman.

​Ada tiga alasan fundamental mengapa kita harus mempermasalahkan tindakan ini dengan keras.

​1. Kriminalisasi Pertanyaan

Bahaya terbesar dari insiden ini adalah pelabelan kata “Provokator”.
Ketika seorang jurnalis bertanya: “Mengapa data klaim OJK berbeda dengan data riil PMI?”, itu adalah pertanyaan berbasis fakta. Itu adalah kerja intelektual.
​Namun, ketika Humas OJK membalasnya dengan sebutan “provokator”, terjadi pergeseran logika yang mengerikan. Pejabat tersebut sedang mengubah pertanyaan kritis menjadi seolah-olah tindakan kriminal/penghasutan.
​Jika logika ini kita terima, maka ke depan, setiap warga negara atau wartawan yang bertanya tentang anggaran, tentang jalan rusak, atau tentang kebijakan yang macet, bisa dengan mudah dituduh sebagai provokator. Ini adalah taktik gaslighting untuk membunuh nalar kritis masyarakat.

​2. Otoriterisme Digital

Grup WhatsApp yang dibuat oleh instansi pemerintah (Humas) bukanlah ruang tamu pribadi (“Private Domain”), melainkan ruang publik (“Public Domain”) karena dikelola oleh pejabat publik yang digaji negara untuk menyebarkan informasi publik.
​Tombol “Remove Participant” (Keluarkan Anggota) di tangan Humas pemerintah tidak boleh digunakan sembarangan seperti admin grup arisan. Menggunakan fitur tersebut untuk menyingkirkan orang yang kritis adalah bentuk sensor gaya baru.
​Jika hari ini kita diam saat satu wartawan di-kick karena bertanya soal darah, besok kita tidak berhak marah jika seluruh wartawan di-kick saat bertanya soal korupsi atau skandal keuangan. Kita mempermasalahkan ini untuk mencegah abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) di ruang digital.

Baca Juga :  DONALD TRUMP (2); SPESIALIS PENAKLUK WANITA*

​3. Runtuhnya Fungsi “Check and Balances”

OJK adalah lembaga superbody yang mengawasi triliunan uang rakyat. Kekuasaan yang besar butuh pengawasan yang besar pula. Wartawan adalah instrumen pengawasan itu (watchdog).
​Tindakan Humas OJK yang antipati terhadap verifikasi data donor darah menunjukkan gejala penyakit birokrasi yang kronis: Ingin terlihat bekerja, tapi tidak mau diperiksa hasil kerjanya.
​Bayangkan, urusan stok darah yang menyangkut nyawa manusia saja datanya tidak boleh diuji, bagaimana dengan pengawasan perbankan yang lebih rumit? Sikap tertutup ini menggerus kepercayaan publik (public trust).

Ini Soal Marwah

Jadi, protes keras kami bukan karena kami “baper” tidak bisa masuk grup, atau (seperti fitnah keji lainnya) karena tidak diajak jalan-jalan.
​Kami mempermasalahkan ini karena kami menolak profesi wartawan direndahkan menjadi sekadar “juru ketik rilis”. Kami menolak pertanyaan kritis disamakan dengan provokasi.
​OJK harus paham: Wartawan provokator itu mitos yang diciptakan oleh pejabat yang takut borok kinerjanya tercium. Selama OJK tidak mencabut label itu dan tidak meminta maaf, selama itu pula kami akan terus “mempermasalahkan” hal ini. Demi akal sehat, dan demi marwah pers Indonesia.

Print