
INDOKAYA JAKARTA – Dunia hukum tata negara kembali bergejolak menyusul terbitnya Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur penempatan anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga sipil. Reaksi keras datang dari Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Mahfud MD. Mahfud secara eksplisit menyatakan bahwa Perpol tersebut menciptakan inkonstitusionalitas karena secara terang-terangan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan bertentangan dengan Undang-Undang ASN.
Dikutif dari Kompas.com (https://nasional.kompas.com/read/2025/12/12/20454261/mahfud-md-peraturan-polri-nomor-10-2025-bertentangan-dengan-putusan-mk#google_vignette).
Dalam keterangannya kepada media pada Jumat (12/12/2025), Mahfud MD, yang juga mantan Ketua MK, menegaskan bahwa landasan hukum Perpol 10/2025 telah dicabut melalui yurisprudensi.
“Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri,” jelas Mahfud.
Poin krusial yang digarisbawahi Mahfud adalah Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang telah diketok pada 13 November 2025. Putusan tersebut secara final dan mengikat telah melarang mekanisme yang selama ini sering digunakan, yaitu alasan penugasan dari Kapolri.
“Menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” tegas Mahfud.
Dengan kata lain, Putusan MK tersebut memerintahkan anggota Polri aktif yang berkeinginan mengisi jabatan di luar institusi kepolisian untuk memilih: pensiun atau berhenti sebagai anggota Polri, sehingga tidak terjadi rangkap jabatan sipil-militer/polisi aktif yang berpotensi mencederai profesionalisme dan netralitas ASN. Dengan tetap adanya mekanisme penugasan di Perpol terbaru, Polri dinilai telah secara de facto menihilkan amanat konstitusi yang diputuskan oleh lembaga peradilan tertinggi.
Selain kontradiksi terhadap putusan MK, Mahfud juga menyoroti kelemahan Perpol 10/2025 dari sisi regulasi kepegawaian, khususnya kaitannya dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Menurut UU ASN, pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif seharusnya diatur secara rinci dalam Undang-Undang Polri. Namun, Mahfud membandingkan bahwa UU Polri saat ini tidak mengatur secara eksplisit daftar kementerian atau lembaga sipil mana saja yang bisa diisi oleh personel aktif.
Kondisi ini berbeda jauh dengan Undang-Undang TNI, yang secara jelas menyebutkan dan membatasi 14 jabatan sipil yang bisa ditempati oleh anggota TNI. Kekosongan pengaturan spesifik dalam UU Polri inilah yang membuat Mahfud menilai Perpol 10/2025 tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
“UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif. Ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI. Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” pungkas Mahfud.
Menanggapi klaim Mabes Polri yang menyatakan Perpol 10/2025 sudah sesuai UU, Mahfud menegaskan bahwa status Polri sebagai institusi sipil setelah reformasi tidak serta merta memberikan tiket bebas bagi anggotanya untuk mengisi semua institusi sipil lainnya. Mahfud menekankan bahwa penugasan harus didasarkan pada bidang tugas dan profesi yang relevan.
“Sebab semua harus sesuai dengan bidang tugas dan profesinya. Misalnya meski sesama dari institusi sipil, dokter tidak bisa jadi jaksa, dosen tidak boleh jadi jaksa, jaksa tak bisa jadi dokter,” Mahfud mengilustrasikan.
Kritik dari Mahfud MD ini, yang disampaikan dalam kapasitasnya sebagai dosen hukum tata negara, menambah tekanan bagi institusi Polri untuk segera meninjau ulang Perpol 10/2025. Isu ini tidak hanya menjadi masalah administrasi, tetapi juga menyangkut kepatuhan terhadap hierarki perundang-undangan dan prinsip konstitusionalitas di Indonesia.










